Perempuan dan Industri Kopi Indonesia

Pernah ‘dimonopoli’ sebagai minuman hanya untuk kaum laki-laki, industri perkopian ternyata banyak dipengaruhi oleh kerja tangan dingin kaum perempuan.

Seneng banget rasanya menjadi perempuan yang hidup di era modern ini. Termasuk urusan ngopi. Asal tahu saja pada 1600-an, industri kedai kopi merebak ke seluruh Inggris dan dataran Eropa lainnya. Tapi yang boleh kongkow di sini hanya kaum lelaki. Padahal kedai kopi pertama di dunia dibuka di Turki dengan nama Kiva Han pada 1475 dan pada masa ini juga masyarakat Turki percaya bahwa kopi mampu mengurangi kram pada perempuan yang datang bulan. Zaman itu di Turki bahkan berlaku peraturan yang mengatakan bahwa suami berhak diceraikan istrinya jika mereka tidak memenuhi kebutuhan minum kopi sang istri setiap hari.

Untunglah perubahan demi perubahan zaman terjadi, dan perempuan tak hanya bisa bebas menikmati kopi di kedai kopi, bahkan mengambil peran aktif yang cukup besar di industri perkopian. Mesin pemanggang (roaster) pertama yang dipatenkan misalnya dibuat oleh Elizabeth Dakin (dan suaminya William) pada 1847-1848. Melitta Bentz pada 1908 menciptakan dan mematenkan saringan (filter) kopi pertama untuk mengurangi rasa pahit dan menghilangkan ampas.

Pada 2003 Karen Cebreros dan Kimberly Easson merencanakan coffee trip pertama yang hanya diikuti perempuan ke Nikaragua dan Kosta Rika. Mereka memiliki tujuan memberi pemahaman terhadap masalah dihadapi para perempuan yang berada di perkebunan kopi. Dan juga mengoneksikan perempuan di perkebunan kopi dengan perempuan yang ada di semua industri kopi. Dari perjalanan ini didirikanlah International  Women’s Coffee Alliance (IWCA). IWCA hingga saat ini tetap fokus mempromosikan dan menjembatani seluruh perempuan di komunitas kopi di dunia.

Seberapa Besar Kontribusi Perempuan?

Data terkini dari International Coffee Organization menunjukkan, kontribusi perempuan dalam industri kopi global sangat signifikan. Setidaknya, 20-30 persen kebun kopi dikelola oleh perempuan. Dan, lebih dari 70 persen buruh di industri kopi merupakan perempuan. Kopi-kopi berkualitas yang biasa kita sesap di coffee shop langganan, sebagian besar berasal dari hasil tangan perempuan.

“Perempuan berada di garda terdepan ketika berurusan dengan secangkir kopi. Di SJA mulai dari pembelian biji kopi mentah, memastikan pasokan dan memastikan biji kopi mana yang bisa dipakai, semuanya banyak dilakukan oleh pihak procurement dan RND Manager yang semuanya adalah perempuan. ” tutur Tan Novilia Astan, Operational GM PT. Santos Jaya Abadi.

“Peran cup taster kita yang sebagian besar adalah perempuan juga menentukan kualitas produk yang sampai ke pelanggan sudah. Packer kita juga sebagian besar perempuan. Saya rasa perempuan memiliki kesabaran dan ketekunan sehingga lebih tahan bekerja dalam rutinitas. Selain itu juga mampu juga mengerjakan tugas sederhana terkait mesin, misalnya melakukan pembersihan mesin pengepakan yang memang menjadi tempat kerjanya sehari-hari,” katanya lebih lanjut.

Peran kaum perempuan di industri kopi, menurut Moelyono Soesilo, Head of Buying Station PT. Sulotco Jaya Abadi, semakin bertambah besar dari hulu ke hilir dalam 10 tahun terakhir.

“Kaum perempuan berperan utama dalam menentukan kualitas; mulai dari memetik biji kopi yang matang sampai memilahnya selama pemrosesan. Di perkebunan seperti di Aceh dan Bali, misalnya kaum perempuan wanita berperan aktif. Eksportir kopi terbesar di Aceh, kita ketahui dipimpin oleh Ibu Rahmah, seorang perempuan, yang aktif melakukan koordinasi dan pembinaan agar kaum perempuan di desanya bisa memproduksi dan memproses kopi dengan benar,” kata Moelyono mengimbuhkan.

Syafrudin, SCAI Ketua Specialty Coffee Association of Indonesia, dalam kesempatan berbeda juga menyampaikan hal serupa kepada CONNECT. “Kaum perempuan kini tak hanya aktif dalam hal penyemaian, pemeliharan kebun, pemetikan kopi, namun juga aktif mengelola industri kopi dengan cara menjadi pengurus koperasi kopi seperti di Takengon, Gayo, Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali.

Sebuah studi yang dilakukan oleh International Finance Corporation pada tahun 2011 juga mengungkap, hampir 80 persen kebun kopi di Sumatera Utara didominasi oleh perempuan. Mereka memegang peran kunci dalam penanaman, pengolahan, dan pemasaran kopi. Keterlibatan perempuan tak sebatas ada di hulu. Mereka ikut ambil andil juga di hilir; menjadi barista, roastery, sampai enterpreneur. Turut menekuni dunia perkopian yang dianggap sangat maskulin. Pada kompetisi paling bergengsi di dunia kopi, World Barista Championship, misalnya. Dua tahun terakhir ini, kompetisi tersebut dimenangkan oleh barista perempuan; Agnieszka Rojewska di tahun 2018, dan Yoojeon Jeon di tahun 2019.

Meroketnya kepopuleran kopi dirasa jadi salah satu hal yang membuat pegiat kopi perempuan kian menampakkan kemampuan terbaiknya. Apalagi industri kopi yang makin melesat tajam, membuat lapangan pekerjaan di dunia kopi terlihat menjanjikan. Cakupannya pun lebih luas, bukan hanya terpusat di barista saja; jadi roaster, Q-grader, juri, sampai entrepreneur pun bisa dijalani oleh perempuan.

Lisa Ayodya, dari DEKOPI (Dewan Kopi Indonesia) memberikan pujian yang tinggi pada kaum perempuan yang menurutnya berperan besar dalam industri kopi dari hulu sampai hilir. “Dari hulu, terlibat dalam proses kerja pembibitan, penanaman, perawatan, hingga nanti panen. Di hilir, perempuan terlibat dalam penjualan, pengolahan, hingga penyajian baik di café-cafe, hingga di rumah tangga. Perempuan kini banyak yang menjadi barista, bahkan menjuarai berbagai kejuaraan di dalam dan luar negeri. Ada pula yang terlibat dalam penelitian
kopi, atau menulis di media massa tentang kopi. Kesimpulannya industri kopi tidak akan berjalan seperti sekarang tanpa peran perempuan di hulu hingga hilir.”

2020-12-29T09:03:54+00:00